Minggu, 12 Agustus 2012

Dua Puluh Sembilan Setengah Hari

hari pertama puasa hirzi sangat senang karena seru dan hirzi membayangkan makanan saja dari pukul 06;00 sampai pukul 15;30 hari yang kedua hirzi bukan membayangkan makan tapi membayangkan adek hirzi yang sedang tidur, dan hari ketiga hirzi puasanya batal pukul 15;00 karena hirzi capek sekali kemaren hirzi  ke rocky dan hirzi ketemu dengan kawan sekolah yang bernama tiyo.

hari keempat dan seterusnya hirzi penuh puasa, puasa hirzi dari yang ke1 sampai 30 hirzi penuh

(ABAH SAMBUNG TULISAN IJI INI YA.. HEHE)

Iji mau belajar nulis dengna bercerita tentang perjalanan puasanya. Baru di hari ke 27, Iji udah bilang puasa penuh... Hehe.... Padahal masih ada beberapa hari lagi. Tapi melihat semangat Iji puasa, Insya Allah bisa sampai habis Ramadhan.

Hari ketiga Iji lepaskan puasanya karena banyak main di luar dan hari itu cuaca panas sekali. Sebenarnya sejak masuk waktu Zuhur, Iji udah merengek minta buka, tapi Abah dan Ummi coba menasehati agar tetap puasa. Abah dan Ummi juga udah sepakat, kalau toh Iji memaksa terus buka juga nggak apa-apa, kan lagi belajar puasa, apalagi ini baru di hari ketiga, terlalu cepat KO... Hehe...

hari ketiga puasa, Abah, Iji dan Ummi main ke Rocky belanja kebutuhan untuk beberapa hari ke depan. Yang namanya supermarket kan nyaman dan dingin, apalagi di hari-hari puasa yang terik pada hari itu, rasanya enggan keluar dari supermarket itu. Begitu keluar, langsung terasa seperti disambar hawa panas, membuat badan terasa lemas dan kerongkongan tak dapat lagi mengais sisa-sisa air untuk melicinkan tenggorokan. Orang dewasa pun merasakan hal yang sama, apalagi anak se-usia Iji.

Dalam perjalanan pulang dari supermarket, wajah Iji kelihatan beda, kedua tepi bibirnya melorot ke bawah :-( tak seperti biasa saat kami pulang dari mana saja, dalam perjalanan selalu ada diskusi dan gelak tawa. Kali ini Iji tak merespon apapun yang Abah dan Ummi bicarakan, sekalipun hal yang dia senangi. tak mempan semua cerita lucu. Kalau Iji udah bersikap begini, yaa... Abah dan Ummi mulai lirik-lirikan, mengata-ngatai Iji melalui isyarat sambil senyum khawatir kalau-kalau Iji ngambek dan nggak mau ngomong sampai di rumah, kalau ini terjadi, pasti suasana puasa semakin terasa panas dan tak menggairahkan.

Iji mulai menyilangkan kedua tangannya di atas cup lampu kendaraan roda dua, menyandarkan kepalanya di kedua lengan mungilnya itu, teringat syair Iwan Fals, "tertidur berbantal sebelah lengan, berselimut debu jalanan...". Alhasil, selama perjalanan pulang yang memakan waktu kira-kira 20 menit karena di kawasan Bandar Buat macet, kami semuanya melakukan aksi diam tanpa bicara, tak terdengar lagi deru kendaraan-kendaraan kecil dan besar berukuran raksasa hilir mudik yang biasanya memekakkan telinga. Fikiran Abah, Ummi dan Iji kayaknya terfokus pada situasi buntu sehingga menutup semua telinga kami dari pendengaran sebising apapun di tengah hiruk-pikuknya jalan raya yang kacau ini.

Abah berusaha untuk mengukur-ukur laju kendaraan agar tak goyang, paling tidak Iji dan Ummi bisa merasa nyaman dan tidak terganggu dengan irama laju kendaraan yang Abah kendalikan. Sepiiiiii sekali terasa. Tak tahu apa yang ada dalam fikiran Ummi dan Iji saat itu, yang jelas, penyebabnya adalah tak adanya kata sepakat untuk Iji 'merusak' puasanya hari ini.

Dengan wajah yang ketiganya kusam, Iji, Ummi dan Abah sampai di rumah dan masuk tanpa ada kata-kata. Abah dan Ummi masih terus berkomunikasi dengan lirikan mata atau gerakan kepala. Iji langsung merebahkan badannya di atas tikar depan tivi setelah menghidupkan kipas angin. Sesekali diliriknya Ummi dan Abah untuk memastikan bagaimana air muka kami, karena sama ronanya, Iji kembali membenamkan kepalanya ke bantal sambil menyeringai seperti orang mau nangis. Abah dan Ummi semakin khawatir melihat keseriusan wajah Iji yang semakin terlihat terobsesi untuk buka puasa.

Abah mendekati Iji dan memeluknya sambil bercerita untuk membuka ruang diskusi baru dan mencari jalan keluar. Tapi Iji memang kadang susah ditebak, pada saat patuh, dia taat sekali, tapi jika badan tak tahan menampung, biasanya Iji selalu melontarkan idenya dengan bahasa yang lain namun tetap dengan inti yang sama, buka puasa.

Abah sarankan agar Iji istirahat tidur dan akan terbangun kira-kira jam 17.00, satu jam sebelum waktu buka puasa. tapi ini tidak menyelesaikan masalah karena rasa haus dan gerah Iji membuat dia tidak mampu mengundang kantuk, apalagi tidur. Ini sudah jam dua siang, memang menyengat.

Abah dan Ummi rapat kecil dalam kamar untuk memutuskan sikap selanjutnya. Kami sepakat, kalau Iji memang mau buka, ya, silahkan aja, tapi Abah dan Ummi diam dulu menunggu bagaimana Iji melakukan komunikasinya. Abah dan Ummi istirahat di kamar, Iji tetap di depan tivi dengan posisi sudah pindah ke bagian lantai yang tak bertikar, dia tempelkan perutnya ke lantai keramik untuk memasukkan hawa dingin ke dalam tubuhnya, mungkin berharap agar dapat meringankan beban yang membuatnya haus dan gerah.

Jam tiga sore, Iji mengetuk pintu kamar dan berdiri dengan wajah yang sedikit berganti rona memanggil Ummi, "Mi, Iji udah buka barusan ya, nggak tahan lagi Iji...", katanya dengan mata agak sedikit di buang ke sudut lain untuk menunggu reaksi Ummi dan Abah. kami senyum dengan memutar bola mata dan dengan perasaan lega. Lega karena sebentar lagi pasti ada garis pinggir bibir Iji akan bergerak ke atas.

"O, ya.... Kalau gitu, jangan minum aja, Iji makan sekalian biar bisa istirahat tidur", jawab Ummi. Karena kalau sudah buka dan tidak makan, kasian juga Iji lapar tapi tetap tidak puasa. Tapi Iji menolak untuk makan, karena dia tetap ingin melanjutkan puasa, dia cuma haus katanya.... Tapi Ummi dan Abah tetap menyarankan Iji untuk makan biar ada tenaga lagi dan bisa istirahat. Akhirnya Iji makan nasi siang menjelang sore itu.

Iji sendiri tidak menyangka respon Ummi dan Abah begitu datar dan tidak marah seperti yang dia bayangkan, mungkin. Bahkan Ummi bilang, "ndak apa-apa Iji buka kan masih belajar puasa, Insya Allah besok puasa lagi ya sayang', kata Ummi dan diangguk Iji dengan rasa senang dan gembira. Setelah itu, mulailah Iji berkicau lagi, segar dan tidak loyo....

Abah dan Ummi tidak merespon sikap Iji dengan berlebihan karena Iji telah menunjukkan satu sikap jujurnya. cara dia menyampaikan membuat Abah dan Ummi terharu. Ini lebih baik dari pada Iji buka tapi tetap mengaku puasa. Abah dan Ummi sudah katakan ke Iji, bahwa puasa itu hanya Iji dan Allah yang tau, Ummi dan Abah sama sekali tidak tahu. Alhamdulillah, Iji sangat mengerti ini...

Hari-hari selanjutnya Iji menjalankan puasanya penuh, Iji tidak mau lagi bermain di luar selama puasa kecuali sebentar saja dan bukan bermain lari-lari. Kalau sudah terasa hampir lelah Iji pulang dan langsung tidur di bawah terpaan kipas angin di depan tivi. Ini Iji lakukan setiap hari hingga akhir Ramadhan. Jika orang bertanya bagaimana puasanya, Iji dengan mantap menjawab 29,5 hari (dua puluh sembilan setengah hari), karena Iji tetap ingin puasanya yang setengah hari itu dihitung... :-))

Bahkan di hari-hari terakhir Ramadhan, terlihat sekali badan Iji kurus kerempeng dan memanjang, Ummi dan Abah khawatir, karena saat buka puasa Iji tidak banyak makan nasi, hanya minum dan kue-kue saja. Tercetus niat kami untuk menyuruh Iji buka puasa, tak disangka ternyata Iji menolaknya dan sudah bertekad menjalankan puasa hingga tuntas di akhri Ramadhan.

Usut punya usust, ternyata Iji punya motivasi yang tinggi untuk menyelesaikan puasanya karena ditantang oleh ustadz dan ustadzahnya di sekolah. Bagi yang berpuasa penuh akan mendapatkan hadiah dari sekolah. Selain itu, teman-teman Iji satu sekolah juga sering berkomunikasi untuk mengkonfirmasi apakah mereka puasa atau tidak. Kalau tidak puasa tentu saja apresiasinya negatif. bagi yang berpuasa, di lingkungan sekolah Iji itu termasuk golongan siswa-siswi yang keren... Hahahaha......

Terakhir Iji juga bilang bahwa dia ingin sekali puasa Senin Kamis seperti beberapa teman sekelasnya. Iji sendiri belum Abah dan Ummi izinkan puasa Senin Kamis karena beberapa pertimbangan. Tapi untuk ke depan, melihat puasa Ramadhan 1433 ini, dan karena Iji sudah meminta beberapa kali, Abah dan Ummi akan mempertimbangkan kembali untuk diizinkan puasa Senin Kamis.

Banda Aceh, 7 September 2012
Abah