Jumat, 14 November 2014

Astaghfirullah... Owhh... My God...

Karena tak sanggup lagi menghirup aroma busuk yang diterpa angin menyelinap paksa ke semua sudut ruang rumah kami, akhirnya dengan berat hati dan malas-malasan kami angkat bungkusan dalam plastik hitam yang sudah berlapis tiga, bagian terluarnya sudah dibalut dengan karung goni.

“Beratnya kira-kira 70kg”, kata Ummi Hirzi menaksir

Maka aku tak mau mengangkatnya sendiri, harus berdua agar bisa dinaikkan di kabin belakang Kijang Jantan kebanggaan kami yang setia selama 8 tahun menemani.

Selama perjalanan, bau busuk itu terus menusuk dan mengoles-oles indera bau kami. Serasa mau muntah saat itu juga. Sekalipun kaca mobil sudah dibuka, tetap saja aromanya singgah ke liang hidung.
Ternyata bukan aku saja yang merasakan, Ummi Hirzi sama, dia menutup hidungnya dengan ujung jilbab yang terjuntai sambil tangan yang sebelahnya bergerak mengipas-ngipas berusaha agar aroma busuk itu tak sampai ke gerbang lubang hidungnya.

Begitu terus sepanjang jalan sampai kami menemukan lokasi tempat diparkirnya kontainer sampah di Jalan PU Pengairan yang tembus ke Jalan Teungku Imum, Lueng Bata.

Sudah ada pemulung yang memilah-milah jenis sampah di sana. Tentu saja untuk mencari jenis sampah yang masih memiliki nilai jual seperti plastik bekas kemasan air mineral, kertas bekas, dan lain-lain.

Walau tak terlalu lama, tapi aku dapat merekam detil kendaraan yang mereka gunakan untuk mengangkut 'sampah bernilai'  yang mereka kumpulkan Becak yang dimodifikasi alakadarnya. Di sudut kiri kanan bagian belakang diikatkan masing-masing satu tiang dan bagian atasnya dihubungkan dengan kayu. Di depan satu tiang dan bagian atasnya dibuat palang melintang yang setiap ujungnya sejajar dengan pojok atas tiang belakang. Formasi ini dibuat tentu saja untuk memudahkan pemiliknya menghamparkan sesuatu sebagai fungsi atap.

Di bawah atap itu ada satu baris kursi yang dibalut kain rombengan dan warnanya menunjukkan betapa uzurnya usia kain tersebut. Lecek luar biasa. Dindingnya juga diselimuti kain dari berbagai jenis yang sudah kumal dan berbentuk rumbai-rumbai, ditambah sampah berbagai jenis bergelantungan di sekelilingnya sebagai aksesoris yang 'menggoda'.

Dalam balutan aksesoris itu walau gelap, terlihat kelebat sosok di dalam. Aku menduga disitu isteri pemulung ini berlindung dari sengatan sinar matahari dan hujaman runcingnya air hujan yang menghunus.
Kami terpana saling pandang. Seolah aku baru kali ini menabrak kornea mata isteriku dengan air muka yang sangat berbeda. Aku merasakan perasaan isteriku sama denganku.

Sebelum kami buka pintu mobil untuk mengangkut dan melempar sampah ke tanker itu kami sudah punya keputusan. Hanya beberapa saat berlalu, kami pulang kembali ke rumah. Bau busuk sampah masih tersisa dalam ruang kabin Kijang Jantanku.

Menjelang maghrib kami sudah berada di rumah. Menghirup udara segar. Tak ada aroma busuk itu lagi. Tapi fikiranku dan isteriku masih tergoda dengan aroma itu.

Sehari berlalu. Ba'da maghrib aku menemani isteri membereskan dokumen STR, setelah ini kami berencana kencan berdua saja. Kami ingin menikmati malam sambil minum kopi sanger di Ring Road.
HPku berdering. Di layar muncul nama penelpon. Adik aktivis yang sangat kukenal dekat dan nyaris setiap waktu berdiskusi perihal organisasi tempat mereka beraktivitas selama ini.

"Assalamu'alaikum, Bang,"  terdengar dia menyapa dengan kalimat salam khas di Aceh.
"wa'alaikumsalam. Apa kabar, Dek?"
"Alhamdulillah baik, Bang. Ini Bang... Abang yang kasih pemulung kemarin kipas angin, ya Bang?"
"Mmm, kipas angin? Pemulung yang mana, ya?"
"Itu Bang, kemaren ada saya lihat kipas angin, terus saya tanya dari mana dapat. Karena dia sebut Perumahan Bayu Permai rumah paling ujung, saya teringat alamat Abang, makanya saya komfirmasi. Apa betul dari Abang?"
"oowh... Itu, iya Dek. Kenapa? Masih bagus tu Dek, tapi speed-nya cuma satu yang aktif, mungkin bisa dimanfaatkan," kataku
"Ya, Bang. Memang masih bagus, sedang saya pakai sekarang," katanya memperjelas.
Aku tertegun sesaat, mencoba menaksir apa sebenarnya yang terjadi.
"Halo Bang..."
"Iya, iya Dek. Terus bagaimana?"
"Pemulung itu ayah saya, Bang. Terima kasih banyak ya, Bang. Ayah kirim salam dan sampaikan terima kasih sekali lagi," katanya.
"owh, iya.  Ayahnya? Alhamdulillah." jawabku menahan degupan jantung dan semburan darah yang tiba-tiba dipompanya. Seperti disambar kilat. Isteriku pun menghentikan kegiatannya ketika melihat raut wajahku yang tidak biasa.
Allahu Akbar. Astaghfirullah...
Ampuni kami ya, Allah. Kami yang selalu mengeluh dalam gelimangan nikmat yang setiap saat Engkau limpahkan.

Aku bahkan tak tahu ayah dan ibu dari orang yang sangat dekat denganku adalah pemulung. Dan betapa datarnya cara anaknya menyampaikan bahwa itu ayah dan ibunya. Dengan kalimat yang lugas dan intonasi yang sama sekali tidak mengekspresikan rasa malu. Bahkan dengan nada bangga dan jiwa bermartabat.

Kami pun tidak tahu menahu siapa pemulung itu, kami hanya berniat memberikan kipas angin bekas padanya dengan menyuruh datang ke rumah kami esok harinya setelah pertemuan di tanker sampah itu.
Aku dan isteriku tertegun sesaat tapi rasa kaget itu juga membuat kami hampir menjerit setelah menerima telpon itu.

Allah sampaikan pada kami pelajaran moral paling berharga dari pinggir jalan di tengah-tengah kondisi kami yang sedang dilamun ombak. Puncak rasa kami nyaris berbenturan dengan hal yang tidak normal, belum sampai, tapi kami cepat menyadarinya dan Allah kirim pesan moral ini.

Teguran yang sungguh tak ternilai. Sesuatu yang sangat sensasional saat dianugerahi pengalaman yang benar-benar menyentakkan kesadaran kita untuk tidak ingkar pada nikmat yang telah dilimpahkan, dan menyudutkan aku pada posisi yang tak dapat ditawar dengan alasan apapun, bahwa bersyukur merupakan satu-satunya bentuk sikap yang paling pantas untuk dilakukan. Aku merasakan seperti berada dalam ruang dialog rahasia antara aku dan Allah, karena pesan ini sangat rumit untuk diurai ataupun direkayasa untuk dapat memperolehnya. Aku juga semakin memikirkan dan meyakini bahwa setiap orang memiliki rahasia masing-masing dengan Allah.