Kamis, 14 Juli 2011

Hujan Ini Semangat Ji...

Muncul kecemasan di hari kedua sekolah Hirzi. Hujan yang mengguyur sejak pukul sembilan pagi di hari pertama, tidak reda hingga hari kedua tiba, bukan main lebatnya. Tekad Hirzi ingin tetap sekolah membuat Abah juga harus mempersiapkan energi lebih untuk mengantar Hirzi. Ini bukan hujan gerimis, tapi benar-benar hujan yang sangat deras. Di berita tivi, menurut BMG, di wilayah Jawa dan sekitarnya merupakan puncak musim panas saat ini, tapi di Padang hujan sudah mulai sejak dua hari lalu setelah berbulan-bulan kering kerontang dihisap musim panas yang menyengat.

Pukul 06.30, dengan menggunakan mantel, Abah dan Hirzi berangkat ke sekolah menembus hujaman air yang terjun dari langit, suara hantaman hujan yang menerpa helm menghalangi komunikasi Abah dengan Hirzi yang duduk di belakang Abah. Terasa jari-jari mungil Hirzi meremas jaket Abah dan beberapa kali terlepas karena badan Hirzi terbawa oleh tas ransel yang cukup berat, bergeser ke kiri dan ke kanan. Tak terdengar Hirzi mengatakan sesuatu, seperti suara bergumam, suara bergumam itu selalu terdengar seiring dengan gerakan tubuh Hirzi ketika menggeser punggungnya untuk memperbaiki posisi duduk.

Sekali-kali Abah menjerit, "Pegang yang kuat Ji", "Apa Baaaahh?", "Pegang dengan dua tangan, yang kuat ya", balas Abah sambil meraih tangan Hirzi dan menempelkannya di bagian samping perut Abah, hanya sejauh itu lingkaran tangan Hirzi mampu meraih tubuh Abah. Hirzi menuruti, dan sempat bergumam lagi, sepertinya Hirzi mengatakan, "Iya Bah".

Laju vario yang kami naiki tak bisa dikebut, disamping hujan lebat dan jalan licin, penglihatan Abah juga sangat terbatas karena kaca helm dipenuhi butir-butir air yang mengganggu pemandangan, kalau kacanya dinaikkan, terpaan air hujan langsung mengenai mata, justeru lebih berbahaya, akhirnya Abah gas motor dengan sangat pelan dan hati-hati. Begtu keluar dari turunan keluar jalan Gadut, kondisi jalan semakin rumit, karena macet yang sangat panjang, tidak tahu dimana pangkal kemacetan sehingga semua kendaraan seperti berhenti bergerak. Sambil berharap hujan reda, Abah tarik lagi tangan Hirzi yang sudah mulai longgar dari pelukannya, perasaan Abah semakin tidak tenang, paha Abah tiba-tiba terasa dingin seperti ditusuk es, air hujan sudah sampai ke kulit Abah, berarti ada kebocoran di bagian mantel sehingga air masuk ke dalam.

Segera Abah meraba dimana posisi ujung mantel bagian belakang berada, tapi tak sampai, yang terpegang justeru tas ransel Hirzi, basah. Abah berteriak, "Iji basah nggak?", "Nggaaak", jawab Hirzi dengan keras. Walau begitu, Abah yakin, bagian tubuh Hirzi ada yang basah, tapi dia merasa tak perlu mengatakan karena dari genggaman jemarinya, Hirzi sedang konsentrasi pada kenyamanan duduknya, sekali-kali kakinya meleset karena belum sepenuhnya kaki Hirzi dapat menjangkau sadel pijakan kaki yang menempel di sebelah kiri dan kanan sumbu roda belakang.

Melihat derasnya hujan dan macet yang panjang, sepertinya waktu tempuh menjadi sangat lama, dari 15 menit perkiraan, bisa jadi berlipat dua. Turun dari Gadut menyeberang ke sisi kiri jalan utama Indarung mengarah ke Simpang Empat By Pass. Terlihat antrian kendaraan pribadi, umum dan truk tronton berderet-deret memanjang tak berujung, klakson tak henti-henti bersahutan, kalau tak biasa bisa memecah konsentrasi pengendara roda dua yang sibuk mengurusi mantel dan posisi duduk, konon lagi yang berboncengan. Tak berani Abah meliuk-liuk seperti pengendara lain karena keselamatan Hirzi lebih utama dari pada kecepatan waktu, biarlah terlambat, kondisi begini memang harus terlambat dari pada celaka.

Macet panjang ini disebabkan salah satu ruas jalan yang mengarah ke Indarung ditutup karena sedang dalam pengerjaan Aspal baru, jadi hanya satu ruas jalan yang mengarah ke Simpang By Pass saja yang difungsikan  untuk dua jalur keluar masuk Indarung. Jalur ini adalah jalur padat kendaraan berat karena di Indarung ada Pabrik Semen Padang. Sebelum menyeberang Simpang By Pass terlihat macet lagi di seberang sana, ada apa lagi?

Hujan tak juga reda, malah semakin menggila, celana Abah sudah habis basah, termasuk lengan baju Abah sudah mulai mengalir air dari celah-celah samping mantel. Celana Hirzi sudah dilipat waktu berangkat, tapi tetap basah juga, kalau sepatu memang sudah sejak awal basah. Sempat terbersit niat untuk memutar haluan dan segera pulang, tapi melihat begitu padatnya kendaraan, tidak mungkin lagi untuk berbalik, pasti semakin tertahan di tengah-tengah arus lalu lintas kendaraan yang tak beraturan ini. Dalam kondisi ini, Abah membayangkan Ummi setiap hari melintasi jalur ini dalam cuaca panas dan hujan, setiap hari selama hampir empat tahun berjalan, berseliweran dengan truk-truk berbadan besar dan bermuatan puluhan ton semen dan minyak dengan perilaku berkendaraan warga Padang yang kurang ramah lalu lintas, tak pernah Ummi mengeluhkan. bayangan ini muncul seketika dan melecut semangat Abah untuk tidak manja melaluinya.

Mulai memasuki Simpang Haru terlihat air megalir deras di sebelah kanan ruas jalan, sedangkan sebelah kiri sudah menggenang cukup tinggi. Abah kembali ragu untuk melewatinya, berhenti sejenak melihat situasi, apakah genangan ini bisa dilewati kendaraan roda dua. Ternyata banyak juga kendaraan roda dua yang tetap nekad masuk genangan, sebagian mendorong dan sebagian lainnya sanggup lewat dengan tertatih-tatih. Hamparan tanah kosong kira-kira memanjang seluas sepuluh pintu ruko itu terlihat seperti danau, rata lurus dilewati air yang mengalir deras memotong jalan Simpang Haru, sampai di tengah jalan menyatu menjadi arus baru dan mengikuti arus jalan menuju tanah yang lebih rendah, arusnya begemuruh kuat seperti sungai.

Abah mengambil posisi paling pinggir dan menaikkan motor ke atas trotoar agar air tak mencapai knalpot, tapi hanya beberapa meter terpergok lubang tutup got, kembali masuk dalam genangan air tinggi, suara motor sudah mulai megap-megap tidak stabil. Hirzi semakin diam dan tak ada gerakan, genggaman tangan kecilnya menusuk-nusuk perasaan Abah, sekaligus menularkan semangat yang kuat untuk berangkat ke sekolah di hari kedua ini. Kalau ada kesempatan Abah jangkau lengan Hirzi dan mengelusnya untuk menenangkan dan memberi isyarat bahwa kami akan sampai sebentar lagi di SD IT Permata itu. Sepanjang jalan berdo'a, ya Allah, kuatkan hati anakku karena tekadnya untuk sekolah, lindungi Hirziku dari segala marabahaya yang melewatinya.

Genangan air cukup panjang untuk dilalui dalam kondisi guyuran hujan yang lebat seperti ini. Menjelang beberapa meter lagi bertemu dengan rambu-rambu memutar untuk mencapai simpang jalan pintas, kami tak bisa memotong ke kanan, karena pengendara lain lalu-lalang dan tak mau berhenti, khawatir kendaraan mereka macet di tengah genangan air yang mencapai lebih setengah lingkaran roda mobil. Abah dan Hirzi yang dari tadi menghidari semburan air pengedara lain, tak dapat dielak, berkali-kali air menyemprot ke tubuh kami. Soal basah tak lagi menjadi beban fikiran, karena memang sudah basah, kini hanya berupaya segera sampai di sekolah sebelum pukul 07.30 Wib.

Begitu ada kesempatan memotong jalan, Abah langsung tancap gas dan masuk di tengah-tengah median jalan serta memutar ke kanan. Kira-kira 50 meter setelah itu terdapat gang di sebelah ruko yang menyambungkan ke jalan utama pinggir sungai seperti yang pernah Ummi beritahu ke Abah sebelumnya. Arus sungai terlihat ganas kali ini karena semua genangan air di jalan-jalan utama tumpah ke sungai ini. Airnya keruh bukan kepalang, gelombang arusnya tak beraturan, bibir air sesekali menjilat bagian atas bronjong pengaman sungai itu seperti hendak melompat. karena pandangan mata Abah yang sangat terbatas, agar mengurangi resiko, mengambil posisi jalan di sebelah kiri habis, khawatir kalau berseliweran dengan kendaraan lain dan terpeleset bisa langsung ke sungai itu. Dari simpang ruko itu terus menyusuri pinggir sungai Andalas hingga mencapai hampir satu kilometer. Di pinggir sungai inilah Sekolah Dasar Islam Terpadu Permata berada. Akhirnya Hirzi sampai di sekolah dengan kondisi basah setengah badan.

Hujan ini adalah semangat Ji. Selama Hirzi bertekad untuk sekolah kita belah genangan air yang menyusuri sepanjang jalan Simpang Haru yang menutupi lebih setengah lingkaran roda vario.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar