Karena
tak sanggup lagi menghirup aroma busuk yang diterpa angin menyelinap paksa ke
semua sudut ruang rumah kami, akhirnya dengan berat hati dan malas-malasan kami
angkat bungkusan dalam plastik hitam yang sudah berlapis tiga, bagian
terluarnya sudah dibalut dengan karung goni.
“Beratnya
kira-kira 70kg”, kata Ummi Hirzi menaksir
Maka
aku tak mau mengangkatnya sendiri, harus berdua agar bisa dinaikkan di kabin
belakang Kijang Jantan kebanggaan kami yang setia selama 8 tahun menemani.
Selama
perjalanan, bau busuk itu terus menusuk dan mengoles-oles indera bau kami.
Serasa mau muntah saat itu juga. Sekalipun kaca mobil sudah dibuka, tetap saja
aromanya singgah ke liang hidung.
Ternyata
bukan aku saja yang merasakan, Ummi Hirzi sama, dia menutup hidungnya dengan
ujung jilbab yang terjuntai sambil tangan yang sebelahnya bergerak
mengipas-ngipas berusaha agar aroma busuk itu tak sampai ke gerbang lubang
hidungnya.
Begitu
terus sepanjang jalan sampai kami menemukan lokasi tempat diparkirnya kontainer
sampah di Jalan PU Pengairan yang tembus ke Jalan Teungku Imum, Lueng Bata.
Sudah
ada pemulung yang memilah-milah jenis sampah di sana. Tentu saja untuk mencari
jenis sampah yang masih memiliki nilai jual seperti plastik bekas kemasan air
mineral, kertas bekas, dan lain-lain.
Walau
tak terlalu lama, tapi aku dapat merekam detil kendaraan yang mereka gunakan
untuk mengangkut 'sampah bernilai' yang
mereka kumpulkan Becak yang dimodifikasi alakadarnya. Di sudut kiri kanan
bagian belakang diikatkan masing-masing satu tiang dan bagian atasnya
dihubungkan dengan kayu. Di depan satu tiang dan bagian atasnya dibuat palang
melintang yang setiap ujungnya sejajar dengan pojok atas tiang belakang. Formasi
ini dibuat tentu saja untuk memudahkan pemiliknya menghamparkan sesuatu sebagai
fungsi atap.
Di
bawah atap itu ada satu baris kursi yang dibalut kain rombengan dan warnanya
menunjukkan betapa uzurnya usia kain tersebut. Lecek luar biasa. Dindingnya
juga diselimuti kain dari berbagai jenis yang sudah kumal dan berbentuk
rumbai-rumbai, ditambah sampah berbagai jenis bergelantungan di sekelilingnya
sebagai aksesoris yang 'menggoda'.
Dalam
balutan aksesoris itu walau gelap, terlihat kelebat sosok di dalam. Aku menduga
disitu isteri pemulung ini berlindung dari sengatan sinar matahari dan hujaman
runcingnya air hujan yang menghunus.
Kami
terpana saling pandang. Seolah aku baru kali ini menabrak kornea mata isteriku
dengan air muka yang sangat berbeda. Aku merasakan perasaan isteriku sama
denganku.
Sebelum
kami buka pintu mobil untuk mengangkut dan melempar sampah ke tanker itu kami
sudah punya keputusan. Hanya
beberapa saat berlalu, kami pulang kembali ke rumah. Bau busuk sampah masih
tersisa dalam ruang kabin Kijang Jantanku.
Menjelang
maghrib kami sudah berada di rumah. Menghirup udara segar. Tak ada aroma busuk
itu lagi. Tapi fikiranku dan isteriku masih tergoda dengan aroma itu.
Sehari
berlalu. Ba'da
maghrib aku menemani isteri membereskan dokumen STR, setelah ini kami berencana
kencan berdua saja. Kami ingin menikmati malam sambil minum kopi sanger di Ring
Road.
HPku
berdering. Di layar muncul nama penelpon. Adik aktivis yang sangat kukenal
dekat dan nyaris setiap waktu berdiskusi perihal organisasi tempat mereka
beraktivitas selama ini.
"Assalamu'alaikum,
Bang," terdengar dia menyapa dengan
kalimat salam khas di Aceh.
"wa'alaikumsalam.
Apa kabar, Dek?"
"Alhamdulillah
baik, Bang. Ini Bang... Abang yang kasih pemulung kemarin kipas angin, ya
Bang?"
"Mmm,
kipas angin? Pemulung yang mana, ya?"
"Itu
Bang, kemaren ada saya lihat kipas angin, terus saya tanya dari mana dapat.
Karena dia sebut Perumahan Bayu Permai rumah paling ujung, saya teringat alamat
Abang, makanya saya komfirmasi. Apa betul dari Abang?"
"oowh...
Itu, iya Dek. Kenapa? Masih bagus tu Dek, tapi speed-nya cuma satu yang aktif,
mungkin bisa dimanfaatkan," kataku
"Ya,
Bang. Memang masih bagus, sedang saya pakai sekarang," katanya
memperjelas.
Aku
tertegun sesaat, mencoba menaksir apa sebenarnya yang terjadi.
"Halo
Bang..."
"Iya,
iya Dek. Terus bagaimana?"
"Pemulung
itu ayah saya, Bang. Terima kasih banyak ya, Bang. Ayah kirim salam dan
sampaikan terima kasih sekali lagi," katanya.
"owh,
iya. Ayahnya? Alhamdulillah."
jawabku menahan degupan jantung dan semburan darah yang tiba-tiba dipompanya.
Seperti disambar kilat. Isteriku pun menghentikan kegiatannya ketika melihat
raut wajahku yang tidak biasa.
Allahu
Akbar. Astaghfirullah...
Ampuni
kami ya, Allah. Kami yang selalu mengeluh dalam gelimangan nikmat yang setiap
saat Engkau limpahkan.
Aku
bahkan tak tahu ayah dan ibu dari orang yang sangat dekat denganku adalah
pemulung. Dan betapa datarnya cara anaknya menyampaikan bahwa itu ayah dan
ibunya. Dengan kalimat yang lugas dan intonasi yang sama sekali tidak
mengekspresikan rasa malu. Bahkan dengan nada bangga dan jiwa bermartabat.
Kami
pun tidak tahu menahu siapa pemulung itu, kami hanya berniat memberikan kipas
angin bekas padanya dengan menyuruh datang ke rumah kami esok harinya setelah
pertemuan di tanker sampah itu.
Aku
dan isteriku tertegun sesaat tapi rasa kaget itu juga membuat kami hampir
menjerit setelah menerima telpon itu.
Allah
sampaikan pada kami pelajaran moral paling berharga dari pinggir jalan di
tengah-tengah kondisi kami yang sedang dilamun ombak. Puncak rasa kami nyaris
berbenturan dengan hal yang tidak normal, belum sampai, tapi kami cepat
menyadarinya dan Allah kirim pesan moral ini.
Teguran
yang sungguh tak ternilai. Sesuatu yang sangat sensasional saat dianugerahi
pengalaman yang benar-benar menyentakkan kesadaran kita untuk tidak ingkar pada
nikmat yang telah dilimpahkan, dan menyudutkan aku pada posisi yang tak dapat
ditawar dengan alasan apapun, bahwa bersyukur merupakan satu-satunya bentuk
sikap yang paling pantas untuk dilakukan. Aku merasakan seperti berada dalam
ruang dialog rahasia antara aku dan Allah, karena pesan ini sangat rumit untuk
diurai ataupun direkayasa untuk dapat memperolehnya. Aku juga semakin
memikirkan dan meyakini bahwa setiap orang memiliki rahasia masing-masing
dengan Allah.